1. Para ulama Hanafi berpendapat bahwa :
a. Apabila langit cerah maka ru’yat hilal harus berasal dari orang yang berjumlah banyak untuk penentuan ramadhan maupun hari raya. Ukuran jumlah tersebut kembali kepada ketentuan ilmu syar’i—perkiraan dominan—dengan informasi mereka serta dikembalikan kepada pendapat imam.
b. Apabila langit tidak cerah disebabkan adanya awan, debu atau lainnya maka cukup dengan kesaksian seorang muslim yang adil, berakal dan baligh, baik laki-laki maupun wanita, merdeka maupun tidak.
Mereka tidak bersandar kepada ahli hisab maupun perbintangan karena hal itu bertentangan dengan syariat dan jika hisab atau peneropongan itu dibenarkan maka kita tidaklah dibebankan dengan beban-beban syariah kecuali dengan ru’yat biasa.
2. Para ulama Maliki berpendapat bahwa penetapan hilal dengan tiga cara :
a. Hilal terlihat oleh sejumlah orang walaupun mereka bukan termasuk orang-orang yang adil. Jumlah yang tidak memungkinkan untuk digolongkan dusta. Tidak disyaratkan harus laki-laki merdeka dan adil.
b. Hilal terlihat oleh dua orang atau lebih, dengan begitu bisa ditetapkan waktu puasa dan berbuka pada saat tertutupi oleh awan atau langit tidak cerah. Adil disini adalah laki-laki, merdeka, baligh, berakal yang tidak melakukan dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil.
c. Hilal terlihat oleh seorang yang adil, dengan begitu bisa ditetapkan waktu puasa dan berbuka bagi dirinya atau bagi orang-orang yang diinformasikan olehnya dari kalangan yang tidak terikat oleh ru’yat hilal. Dan tidak diwajibkan berpuasa bagi orang yang terikat dengan ru’yat hilal serta tidak diperbolehkan baginya berbuka dengan informasi itu. Tidak disyaratkan bahwa orang itu harus laki-laki dan tidak pula harus merdeka. Dan jika yang melihat adalah imam maka diwajibkan berpuasa dan berbuka.
Adapun hilal syawal maka ditetapkan dengan ru’yat banyak orang yang tidak dimungkinkan adanya kebohongan terhadap jumlah tersebut atau bisa juga penetapan tersebut dengan kesaksian dua orang yang adil sebagaimana penetapan hilal ramadhan.
Hilal tidaklah ditetapkan dengan cara hisab yang menghitung perjalanan bulan, tidak buat dirinya—orang yang menghisab—maupun buat selainnya karena Pembuat syari’at telah menetapkan berpuasa, berbuka dan haji dengan melihat hilal bukan dengan hisab walaupun perkataannya benar. Bersandar dengan alat-alat teropong astronomi walaupun benar maka tidak diperbolehkan dan bukan merupakan tuntutan syari’at.
3. Para ulama Syafi’i berpendapat bahwa
ru’yat hilal ramadhan atau syawal bulan-bulan lainnya ditetapkan untuk seluruh masyarakat berdasarkan kesaksian seorang yang adil walaupun keadaannya tidak diketahui baik saat langit cerah atau tidak dengan syarat bahwa orang yang menyaksikan itu adalah seorang yang adil, muslim, baligh, berakal, merdeka dan laki-laki dan mengatakan “saya bersaksi”. Hilal tidak bisa ditetapkan dengan kesaksian seorang yang fasiq, anak kecil, orang gila, hamba sahaya dan perempuan, dalil mereka : bahwa Ibnu Umar pernah melihat hilal lalu dia mengabarkannya kepada Rasulullah saw lalu beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa. (HR. Abu Daud)
Adaun orang yang melihat hilal itu diharuskan baginya berpuasa walaupun dia bukan termasuk orang yang adil (yaitu : fasiq), anak kecil, perempuan, kafir, tidak bersaksi didepan hakim atau ia bersaksi namun tidak terdengar kesaksiannya sebagaimana diwajibkan puasa bagi orang jujur dan dipercaya kesaksiannya.
4. Para ulama Hambali berpendapat bahwa
Hilal ramadhan ditetapkan dengan perkataan seorang mukallaf, adil baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sebunyi, laki-laki atau perempuan, merdeka atau hamba sahaya walaupun dirinya tidak mengatakan “saya bersaksi” atau “saya telah bersaksi bahwa saya telah melihat”. Tidak diterima kesaksian seorang yang tidak diketahui keadaannya dikarenakan kurang bisa dipercaya dalam perkataannya baik saat langit berawan atau cerah walaupun orang yang melihat berada didalam kelompok orang banyak namun orang selainnya tidak melihatnya.
Tidak mesti kewajiban puasa dengan lafazh “kesaksian”, tidak penentuan seorang hakim, diwajibkan berpuasa bagi orang yang mendengar dari seorang yang adil. Tidak wajib bagi orang yang melihat hilal untuk memberitahukannya kepada manusia atau pergi ke hakim atau masjid. Diwajibkan berpuasa bagi orang kesaksiannya ditolak dikarenakan kefasikannya atau lainnya berdasarkan keumuman hadits “berpuasalah dengan melihatnya (hilal)” dan tidaklah berbuka kecuali bersama manusia karena berbuka tidak diperbolehkan kecuali dengan kesaksian dua orang dan jika hilal syawal terlihat oleh seseorang maka tidak diperbolehkan berbuka berdasarkan hadits Abi Hurairoh yaitu “Idul Fitri adalah hari mereka berbuka sedangkan idul adha adalah hari mereka menyembelih” (HR. Tirmidzi)
Tidak diwajibkan berpuasa dengan cara hisab maupun perbintangan walaupun banyak kebenarannya karena tidak ada sandarannya secara syar’i. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz III hal 1651 – 1654)
Dengan demikian yang paling utama dan sekaligus lebih akurat didalam penetapan masuknya awal bulan qomary, termasuk ramadhan maupun syawal adalah dengan cara ru’yat atau melihat hilal dengan mata telanjang namun jika hilal tidak dapat terlihat dikarenakan keadaan langit tidak cerah atau tertutupi oleh awan serta tidak ada kemudahan untuk menyempurnakan bulan itu menjadi tiga puluh hari maka diperbolehkan dengan cara hisab.
Diantara dalil yang digunakan oleh orang-orang yang mempergunakan hisab sebagai penentuan awal bulan adalah apa yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw bersabda :
ΩΨ§ ΨͺΨ΅ΩΩ
ΩΨ§ ΨΨͺّΩ ΨͺΨ±ΩΨ§ Ψ§ΩΩΩΨ§Ω ، ΩΩΨ§ ΨͺΩΨ·Ψ±ΩΨ§ ΨΨͺّΩ ΨͺΨ±ΩΩ ΩΨ₯Ω ΨΊΩ
ّ ΨΉΩΩΩΩ
ΩΨ§ΩΨ―Ψ±ΩΨ§ ΩΩ
Artinya : ”Berpuasalah hingga kalian melihat hilal dan berbukalah hingga kalian melihatnya. Jika ia terhalang bagi kalian maka perkirakanlah.”
Makna ΩΨ§ΩΨ―Ψ±ΩΨ§ ΩΩ “perkirakanlah” adalah perintah untuk orang-orang yang telah diberikan karunia oleh Allah untuk mengetahui tentang ilmu hisab sedangkan maka ΩΨ£ΩΩ
ΩΩΨ§ Ψ§ΩΨΉΨ―ّΨ© “sempurnakanlah perhitungannya” didalam hadits lainnya adalah perintah untuk manusia secara umum.
Argumentasi lainnya adalah bahwa tidak ada pertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan selamanya. Agama itu sendiri menyeru dan mengajak untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi meskipun tidak ada landasan syar’i yang secara eksplisit menyebutkan tentang hisab ini namun hal itu tidaklah bertentangan dengan agama. (Ustadz Sigit Pranowo) sumber: www.eramuslim.com